Pendahuluan
Kota merupakan perwujudan perkembangan yang alamiah dari suatu permukiman perkotaan yang berkembang sangat pesat. Perkembangan tersebut menyebabkan jumlah penduduk dan luas wilayah juga berkembang dengan sangat besar pula, dengan karateristik dan persoalan yang berbeda serta spesifik. Oleh karenanya suatu kota memerlukan pengelolaan tersendiri dalam hal pemecahan persoalan yang dihadapi, penyediaan prasarana dan layanan perkotaan, serta pengelolaan lingkungannya.
Hal-hal tersebut menuntut pemikiran tersendiri bagi pengelolaan suatu kota yaitu perlunya penyediaan kesempatan kerja yang lebih baik, perlunya penyediaan permukiman/tempat tinggal yang memadai, perlunya penyediaan prasarana dan sarana transportasi/ekonomi perkotaan dan lingkungan yang nyaman, aman dan berkelanjutan
Pemanfaatan ruang merupakan wujud operasionalisasi Rencana tata ruang atau pelaksanaan pembangunan oleh berbagai sektor yang mengisi fungsi-fungsi ruang; serta pengendalian pemanfaatan ruang terdiri atas proses pengawasan (pemantauan, pelaporan, dan evaluasi) serta penertiban (pengenaan sanksi dan perizinan) terhadap pelaksanaan pembangunan agar tetap sesuai dengan rencana tata ruangnya. Upaya pengendalian pemanfaatan ruang akan memberikan dampak bagi proses perencanaan tata ruang dan pemanfaatan ruang, baik positif maupun negatif terhadap kondisi ruang dalam suatu kota.
Dalam setiap unsur perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang, karakteristik penataan ruang sangat terkait erat dengan sistem politik, ekonomi, sosial, budaya, lingkungan, dan bahkan pertahanan-keamanan. Oleh karenanya penataan ruang menekankan pendekatan kesisteman yang kompleks berlandaskan 4 (empat) prinsip utama yakni : (1). holistik dan terpadu, (2). keseimbangan antar fungsi kawasan (misal antar kotadesa, lindung-budidaya, pesisir-daratan, atau hulu-hilir), (3). keterpaduan penanganan secara lintas sektor/stakeholders dan lintas wilayah administratif, serta (4). pelibatan peran serta masyarakat mulai tahap perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Pada dasarnya upaya penataan ruang perlu diarahkan pada pencapaian visi strategis ke depan yang akan menjiwai seluruh gerak langkah penyelenggaraannya. Visi strategis penyelenggaraan penataan ruang dimaksud adalah “terwujudnya ruang Nusantara yang nyaman, produktif, dan berkelanjutan untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat Indonesia”.
Sesuai dengan prinsif dasar otonomi daerah bahwa pembangunan yang dilakukan hendaknya dapat menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat daerah, disamping itu bagaimana kemampuan daerah mengalokasi dana yang tersedia secara proporsional dan dalam waktu yang bersamaan mampu menggali potensi daerah untuk meningkatkan pendapatan sebagai sumber pendapatan asli, sebagai upaya mengoptimalkan kinerja pembangunan daerah, dengan tetap memperhatikan keseimbangan pemanfaatan ruang sesuai dengan visi dan misi kota mewujudkan keserasian wilayah budidaya dan lindung, serta berkelanjutan guna mencapai kesejahteraan, keamanan dan kenyamanan.
Dalam kerangka negara kesatuan, meskipun daerah diberikan otonomi secara luas, tetapi tetap diperlukan adanya konsistensi baik hal keterpaduan substansi maupun kesamaan visi-misi secara nasional. Oleh karena itu sesuai dengan kewenangannya, pemerintah pusat berkepentingan dalam merumuskan kebijakan-kebijakan strategis dan pedoman-pedoman teknis yang berlaku secara umum yang berhubungan dengan penataan raung strategis kota
Konsep Wilayah dan Pengembangannya
Secara yuridis menurut Undang-undang No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pengertian wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsure trait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspk administratif dan/atau aspek fungsional.
Sedangkan berdasarkan Undang-undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pengertian daerah adalah kesatuan masyarakat hokum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menurut Rustiadi et. all (2008) wilayah dapat diklasifikasikan kedalam tiga klasifikasi yaitu : (1) wilayah homogen (Uniform), (2) wilayah sistem/fungsional, dan (3) perencanaan/pengelolaan (planning region atau programming region).
Pembangunan daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang pertumbuhan ekonomi dalam wilayah tersebut. Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses yang mencakup pembentukan institusi-institusi baru, pambangunan industri alternatif, perbaikan kapasitas tenaga kerja yang ada untuk menghasil produk barang dan jasa yang lebih baik, identifikasi pasar-pasar baru, alih ilmu pengetahuan, dan pengembangan perusahaan-perusahaan baru. (Lincolin Arsyad, 2004).
Menurut Anwar (2005) pertimbangan dalam pembangunan wilayah membutuhkan pendekatan multi dimensional, terutama yang menyangkut : (1) peranan teknologi dalam peningkatan produktivitas, (2) pembangunan sumberdaya manusia (khususnya yang menyangkut aspek-aspek kesehatan dan pendidikan), (3) pembangunan infrastruktur fisik dengan memperhatikan aspek lingkungan hidup, dan (4) pembangunan administrasi dan finansial, termasuk mendorong partisipasi luas kepada masyarakat dan memperhitungkan aspek politik-institusional.
Inovasi atau pembukaan daerah baru mungkin menghasilkan perubahan struktural, yang demikian akan memperluas pasar domestik dan memperluas pasar luar negeri. Penemuan tehnik hanya timbul dalam masyarakat yang memiliki tradisi yang memungkinkan anggotanya melakukan eksperimen, sadar untuk mengatasi keterbatasan kemampuan fisik mereka yang dengan kata lain menyadari akan perlunya melakukan ekspansi. (M.L. Jhingan, 2007)
Dalam konsep pembangunan berkelanjutan. United Nation Center for Regional Development dalam Tjahja Supriatna titik beratnya pada pembangunan sosial dan lingkungan agar mendukung pertumbuhan ekonomi yang dicirikan oleh : a.) pembangunan yang berdimensi pelayanan sosial dan diarahkan pada kelompok sasaran melalui pemenuhan kebutuhan pokok berupa pelayanan sosial disektor kesehatan dan gizi, sanitasi, pendidikan dan pendapatan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. b.) Pembanguan yang ditujukan pada pembangunan sosial seperti keadilan, pemerataan dan peningkatan budaya serta menciptakan kedamaian, dan c.) Pertumbuhan yang diorentasikan pada manusia untuk berbuat melalui people centered development dan promote the empowerment people (Tjahja Supriatna, 2000)
Struktur tata ruang wilayah yang meliputi sistem jaringan dan pusat-pusat kegiatan yang membentuk ruang fisik wilayah harus mendukung dan kondusif bagi pengembangan sektor unggulan yang telah ditentukan, khususnya dalam hal kegiatan pemanfaatan ruang atau kegiatan pembangunan yang menggunakan faktor-faktor produksi ( seperti tenaga kerja, kapital, teknologi dll.) dan memiliki eksternalitas negatif baik dampak yang berupa bahan pencemar, sedimen, maupun terhadap perubahan bentang alam, dll.
Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan dan Penataan Ruang
Pembangunan yang berpusat pada rakyat menghargai dan mempertimbangkan prakarsa dan perbedaan lokal. Mendukung sistem-sistem swaorganisasi yang dikembangkan disekitar satuan-satuan organisasi berskala manusia dan komunitas-komunitas swadaya. Tehnik ini mengutamakan bentuk-bentuk organisasi swadaya yang menonjolkan peranan individu dalam proses pengambilan keputusan dan menyerukan dipakainya nilai-nilai manusia dalam pembuatan keputusan, proses-proses membangun pengetahuannya didasarkan pada konsep-konsep dan metode-metode belajar sosial.
Secara jelas bahwa keputusan yang diambil dalam perencanaan pembangunan dalam dimensi kerakyatan menempatkan rakyat sebagai sentral dari pembangunan center of development, karena rakyatlah yang kelak menikmati dan merasakan dampak dari pembangunan bukan para pengambil keputusan yang jauh dari objek pembangunan.
Peran dari organisasi swadaya masyarakat serta jaringan kerja dalam pembangunan menjadi mitra, sebagai kekuatan baru dalam tatanan masyarakat yang saling bersinerji menunjang proses pembangunan, dinilai lebih effisien dan efektif sebagai pelaksana dan kontrol yang menciptakan skala ekonomi kecil, sebagai sektor-sektor penunjang. Keanggotaan suatu kelompok memberikan sumber bagi kehidupan dan identitas emosional dan rasa aman, dan saling mengasihi, dalam jaringan masyarakat madani, hal ini sangat sulit didapatkan dalam pola produksi kapitalis, yang hanya berorientasi ekonomis.
Variabel non ekonomis perlu mendapat perhatian dalam perencanaan pembangunan, seperti halnya faktor kependudukan, pendidikan dan kesehatan, dan fasilitas sosial lainnya, untuk meningkatkan kwalitas sumberdaya manusia, dan kwalitas kehidupan masyarakat, bukan hanya sebagai usaha untuk meningkatkan produksi melalui peranan buruh dan produktivitas tenaga kerja.
Indikator keberhasilan pembangunan bukan hanya dari pembangunan fisik, sarana dan prasarana saja, namun lebih jauh dari pada itu bagaimana pembangunan yang tidak hanya mempertimbangkan aspek ekonomi tetapi juga mempertimbangkan aspek sosial yang pada kenyataannya lebih kompleks, bagaimana pembangunan yang memberikan keuntungan sosial atau paling tidak mengurangi beban biaya sosial faktor-faktor sosial harus diperhitungkan dalam setiap program pembangunan, dan bagaimana pembangunan menciptakan keadaan masyarakat yang sejahtera lahir dan bathin, meskipun kepentingan pembangunan sering menimbulkan konflik kepentingan diantara pemerintah dan masyarakat
Keputusan terhadap konflik kepentingan dalam kegiatan pemanfaatan ruang yang terjadi antara para pelaku pembangunan diselesaikan melalui pendekatan musyawarah, dan media partisipatif lainnya. Penataan ruang juga memperhatikan dan mengadopsi akan adanya hak adat/tradisional dan hak-hak lainnya yang sudah hidup dan berlaku dalam sistem tatanan sosial setempat.
Penataan ruang merupakan kebijakan publik yang bermaksud mengoptimalisasikan kepentingan antar pelaku pembangunan dalam kegiatan pemanfaatan ruang. Penataan ruang juga menterpadukan secara spatial fungsi-fungsi kegiatan pemanfaatan ruang, baik antar sektor maupun antar wilayah administrasi pemerintahan agar bersinergi positif dan tidak mengganggu.
Penataan ruang meliputi proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam perencanaan tata ruang perlu memperhatikan faktor-faktor yang menentukan terjadinya produk rencana, yaitu :
-Konsensus, adanya peran serta aktif dan kesepakatan-kesepakatan antar pelaku pembangunnan di dalam penyusunan rencana
-Konsistensi, secara teknis ada kesamaan materi dengan rencana-rencana pada tingkat makro
-Legitimasi, produk rencana diakui, dapat diterima dan ditaati oleh semua pelaku pembangunan (karena memperhatikan faktor konsensus di atas)
-Legal aspek, produk rencana mempunyai kekuatan dan kepastian hukum
-Kompensasi, memperhatikan konsekuensi-konsekuensi biaya dampak yang ditimbulkan oleh akibat rencana tata ruang dilaksanakan, baik terhadap biaya dampak lingkungan fisik maupun sosial-ekonomi.
Pemerintah, dalam hal ini termasuk sebagai pelaku pembangunan, sebaiknya bukan hanya sebagai pengambil keputusan kebijakan tata ruang, tetapi dituntut peranannya sebagai fasilitator dalam kegiatan penataan ruang, sehingga perencanaan dapat lebih didekatkan kepada masyarakat ataupun pelaku pembangunan, karena masyarakatlah yang menerima dan menikmati hasil-hasil pembangunan, sebagai tujuan akhir dari suatu pembangunan, sehingga dengan demikian pelibatan masyarakat dalam proses perencanaan, keputusan dan pelaksanaan menjadi suatu yang sangat penting.
Adapun prinsip dasar pelayanan pelibatan masyarakat dalam proses penataan ruang oleh pemerintah kota dengan beberapa prinsif dasar. Sebagaimana disebutkan Handiman Rico bahwa pelibatan masyarakat dalam penataan ruang untuk mendukung pembangunan wilayah, maka
beberapa prinsip dasar yang perlu diperankan oleh pelaksana pembangunan adalah sebagai berikut:
1). Menempatkan masyarakat sebagai pelaku yang sangat menentukan dalam proses penataan ruang;
2). Memposisikan pemerintah sebagai fasilitator dalam proses penataan ruang;
3). Menghormati hak yang dimiliki masyarakat serta menghargai kearifan lokal dan keberagaman sosial budayanya;
4). Menjunjung tinggi keterbukaan dengan semangat tetap menegakkan etika dan moral;
5). Memperhatikan perkembangan teknologi dan profesional.
Prinsip - prinsip dasar tersebut dimaksudkan agar masyarakat sebagai pihak yang paling terkena akibat dari penataan ruang harus dilindungi dari berbagai tekanan dan paksaan pembangunan yang dilegitimasi oleh birokrasi yang sering tidak dipahaminya. Masyarakat juga bagian dari Rakyat Indonesia yang sudah sepatutnya mendapat perlindungan HAM yang dapat dirumuskan dalam perencanaan tata ruang, seperti hak memiliki rasa aman terhadap keberlanjutan ekonomi, hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, pendidikan, hak untuk mendapatkan rasa aman terhadap keberlangsungan hidup dan kehidupan dalam suatu wilayah dan lainnya.
Prinsip Dasar Pelayanan Pelibatan Masyarakat
Pemerintah Kabupaten/Kota wajib :
-Menempatkan masyarakat sebagai pelaku pembangunan;
-Mengikutsertakan seluruh lapisan masyarakat secaraaktif dalam seluruh proses penataan ruang, dari proses penyusunan rencana tata ruang, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang;
-Seluruh masyarakat memiliki hak dan kewajiban yang sama;
-Seluruh masyarakat memiliki kesetaraan dalam keikutsertaannya;
-Mengetahui rencana tata ruang wilayah Kabupaten/Kota;
-Masyarakat menerima manfaat ruang dan atau pertambahan nilai ruang akibat penataan ruang.
Paradigma Baru dalam Penataan Ruang Kawasan Perkotaan
1. Peran serta masyarakat dalam penataan ruang kawasan perkotaan merupakan suatu keharusan agar berbagai ide dan aspirasi orisinil stakeholders dapat terakomodasi secara adil dan seimbang, termasuk bagi kelompok-kelompok marginal perkotaan. Pelibatan masyarakat perlu dikembangkan berdasarkan konsensus yang disepakati bersama serta dilakukan dengan memperhatikan karakteristik sosial-budaya setempat (local unique) dan model kelembagaan setempat seperti misalnya melalui forum kota atau rembug masyarakat.
2. Penerapan prinsip-prinsip good urban governance secara luas dan konsisten dalam pengelolaan kawasan perkotaan. Walaupun kampanye terhadap good governance di dunia telah dikembangkan sejak awal tahun 1990-an, namun bagi Indonesia, pengadopsian prinsip-prinsipnya belum mencapai taraf yang diharapkan oleh masyarakat. Oleh karenanya, otonomi daerah merupakan momentum yang tepat bagi para pengelola kota dalam menerapkan prinsip-prinsip good governance untuk peningkatan kualitas pelayanan publik untuk kesejahteraan masyarakat.
3. Pemanfaatan dukungan teknologi informasi dalam proses pengambilan keputusan atau intervensi kebijakan penataan ruang telah menjadi kebutuhan yang nyata seiring dengan kompleksitas permasalahan kawasan perkotaan yang dihadapi serta tuntutan atas peningkatan pelayanan publik oleh masyarakat.
4. Pengembangan bentuk-bentuk kemitraan antar kota-kota otonom dalam kawasan perkotaan atau antar kawasan perkotaan atau antara kawasan perkotaan dengan kawasan perdesaan menjadi pilihan strategis pada era otonomi daerah. Pilihan ini didasarkan atas kebutuhan untuk mengelola ruang kawasan – termasuk didalamnya prasarana dan sarana – secara terpadu sehingga proses delivery nya menjadi lebih efektif dan efisien.
Selain itu pengembangan model kemitraan diharapkan dapat meminimalkan potensi konflik pemanfaatan ruang lintas wilayah, menghindari terjadinya pemanfaatan ruang yang tidak sinkron pada kawasan perbatasan (hulu – hilir), serta mengurangi inefisiensi dan biaya transaksi yang terlalu besar.
5. Pengembangan inisiatif, potensi, dan keunggulan lokal dalam perencanaan, pembangunan dan pengendalian pembangunan berbasis masyarakat (community base development). Peran pemerintah dalam hal ini lebih dititikberatkan pada upaya pemberdayaan (empowerment), penciptaan iklim yang kondusif (enabling environment) serta peran fasilitator pembangunan yang menjembatani berbagai aspirasi dan kepentingan masyarakat tersebut.
6. Perencanaan tata ruang dengan sebanyak mungkin melibatkan masyarakat, sehingga rencana tata ruang dapat dipandang sebagai ”dokumen kesepakatan” antara seluruh stakeholders. Dengan kata lain, kita dituntut untuk sebanyak mungkin menerapkan ”community-driven planning”.
7. Pembagian peran secara proporsonal antar seluruh stakeholders yang terlibat dalam perencanaan, pemanfaatan ruang (pembangunan), dan pengendalian pemanfaatan ruang dengan memperhatikan kemampuan masing-masing pihak. Agar seluruh stakeholders dapat menjalankan perannya secara optimal, perlu ditunjang dengan sistem kelembagaan yang memadai.
Pembangunan Kawasan Perkotaan
Upaya-upaya yang dilakukan dalam pengelolaan kawasan perkotaan harus dalam kerangka untuk mewujudkan tujuan pembangunan kawasan perkotaan. Antisipasi berbagai permasalahan akibat terjadinya perubahan fungsi ruang atau pengalihan fungsi lahan kawasan perkotaan sebagai akibat dari dinamika kegiatan pembangunan kawasan menjadi pertimbangan penting dalam mengelola kawasan perkotaan. Selain itu upaya untuk :
a.Mengatur pemanfaatan ruang kawasan perkotaan guna meningkatkan kemakmuran rakyat dan pencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan alam, lingkungan buatan, dan lingkungan sosial;
b.Meningkatkan fungsi kawasan perkotaan secara serasi, selaras dan seimbang antar perkembangan lingkungan dengan tata kehidupan masyarakat;
c.Mencapai kualitas tata ruang kawasan perkotaan yang optimal, serasi, selaras dan seimbang dalam pengembangan kualitas hidup manusia;
d.Meningkatkan peran pemerintah dan masyarakat termasuk dunia usaha dalam pembangunan kawasan perkotaan sebagai usaha bersama sesuai dengan tatanan yang efisien, efektif, demokratis, dan bertanggung jawab;
e.Mendayagunakan seluruh potensi yang dimiliki oleh pemerintah dan masyarakat termasuk dunia usaha dalam upaya menciptakan kawasan perkotaan sebagai ruang kehidupan yang serasi, selaras, seimbang, layak, berkeadilan, berkelanjutan, dan menunjang pelestarian nilai-nilai sosial budaya.
Penutup
Penataan ruang kota hendak dapat menciptakan suatu wilayah kota yang dapat memberikan kenyamanan, kepastian atas keamanan dalam kebedaraannya pada suatu ruang wilayah kota dan menjamin keberlanjutan bagi kondisi ruang yang ada pada masa yang akan datang, serta dapat menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat kota, berkeadilan dan berkemakmuran.
Setiap proses perencanaan, pengambilan keputusan dan pelaksanaan penataan ruang wilayah kota melibatkan masyarakat secara luas, masyarakat adalah sebagai center of development bukan sebagai obyek, karena masyarakatlah sebagai penikmat akhir pembangunan, sehingga dengan demikian pemerintah tidak dapat mengabaikan masyarakat dalam segala proses penataan ruang kota.
Bahan Bacaan :
Anwar Affendi, 2005, Ketimpangan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan : Tinjauan Kritis, P4WPress, Bogor
Arsyad Lincolin, 2004, Ekonomi Pembangunan, Edisi Ke empat, STIE, Yogyakarta
Fredian Tonny.N, 2009, Perencanaan Partisipatif, Bahan Kuliah Perencanaan Partisipatif, PWL, Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor
M.L. Jhingan, 2007, Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, Edisi Ke enambelas, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
Rustiadi et. All, 2008, Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Institut Pertanian Bogor
Santun Sitorus, 2009, Bahan Kuliah Penataan Ruang, PWL, Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor
Supriatna Tjahja, 2000, Strategi Pembangunan dan Kemiskinan, Rineka Cipta, Jakarta
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007, Tentang Penataan Ruang
Peraturan Menteri Dalam Negeri N0. 51 Tahun 2007, Tentang Pembangunan Kawasan Perdesaan Berbasis Masyarakat
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar