Pendidikan

SISTEM PENGELOLAAN LISTRIK BERBASIS DAYA DUKUNG DAERAH DI PROPINSI KALIMANTAN TIMUR
Oleh : Jafar Sidik Salim*)

Penyediaan tenaga listrik bersifat padat modal dan teknologi dan sejalan dengan prinsip otonomi daerah dan demokratisasi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara maka peran pemerintah daerah dan masyarakat dalam penyediaan tenaga listrik perlu ditingkatkan demikianlah salah satu konsideran UU Kelistrikan No. 30 Tahun 2009.
Rencananya tarif listrik akan ditetapkan pemerintah daerah (pemda) dan DPRD dengan persetujuan pemerintah pusat dan DPR. UU Ketenagalistrikan memberikan kewenangan besar kepada pemda untuk mengembangkan sistem dan memberikan izin usaha ketenagalistrikan, menetapkan tarif (regional), sesuai bunyi pasal 34 serta menanggung subsidi listrik yang selama ini ditanggung pemerintah pusat. Tujuannya adalah agar pemda mampu mempercepat pemenuhan kebutuhan listrik di daerah.
Otonomi daerah diharapkan lebih mendorong desentralisasi pengadaan listrik baik berkapasitas kecil maupun besar atau paling tidak mampu memenuhi kebutuhan listrik daerah oleh PLN, pemda, dan pemodal di daerah. Upaya ini diperlukan dalam rangka memperluas akses listrik hingga pelosok, yang disesuai dengan kondisi dan daya dukung daerah. Untuk daerah yang memiliki sumberdaya alam yang cukup apakah itu energi fosil atau energi yang terbarukan dapat melakukan diversisifikasi teknologi untuk pembangkit listrik daerah.

Potensi Wilayah Kalimantan Timur
Berbagai sumber energi fosil yang terdapat di Kalimantan yaitu Minyak, Gas dan Batu Bara, yang tersebar hampir merata di seluruh wilayah dan sangat potensial karena terbukti sebagai penyumbang terbesar PDRB Kaltim Tahun 2009 berdasarkan harga konstan tahun 2000, dimana sektor ini mampu menyumbang sebesar 47,13% dari total PDRB Rp. 281,4 T. Dilihat dari sisi wilayah masing-masing daerah di Kaltim mempunyai spesifikasi hasil produksi sumberdaya alam. Kabupaten/kota sebagai penghasil minyak, gas dan batu bara, yaitu ; Kabupaten Kutai Kartanegara, Kutai Timur dan Kota Bontang, Samarinda dan Kutai Barat, penghasil minyak dan gas, yaitu Kota Balikpapan, Tarakan, dan Kabupaten Nunukan, Kabupaten Bulungan, serta Kabupaten yang hanya sebagai penghasil batu bara saja, yaitu ; Kabupaten Berau, dan Kabupaten Malinau, Kabupaten Paser dan Kabapeten Panajam Paser Utara, dan sedikit di Kabupaten Bulungan. Secara kesuluruhan Kalimantan Timur kaya akan sumberdaya alam yang dapat digunakan sebagai energi utama untuk pembangkit tenaga listrik., sebagai alternatif pengganti bahan bakar diesel.
Selain minyak dan gas, yang peranannya dalam perekonomian sudah tampak jelas dan bahkan banyak dinikmati lembaga keuangan ditingkat propinsi maupun kabupaten, tidaklah salah jika batubara disebut sebagai primadona baru perekonomian propinsi ini. Di propinsi Kaltim banyak berkembang perusahaan batubara dalam skala yang besar maupun kecil sehingga mampu membuat propinsi Kalimantan Timur sebagai penghasil batubara terbesar bagi Indonesia.
Berbagai Kendala Pembangunan Kelistrikan di Kalimantan Timur
Kalimatan Timur memiliki wilayah yang sangat luas yaitu seluas 198.441,17 Km2 dengan kepadatan 14,80 jiwa per Km2 dan tersebar secara tidak merata, sangat timpang dan mencolok terutama antar kabupaten. Wilayah kabupaten dengan luas 98,87% dari wilayah Kaltim dihuni oleh sekitar 54% dari total penduduk Kaltim. Selebihnya, sekitar 46%, penduduk menetap di daerah kota dengan luas hanya 1,13% dari luas wilayah Kaltim seluruhnya. Akibatnya kepadatan penduduk di daerah kabupaten hanya berkisar 2 hingga 44 jiwa/km² dibanding kepadatan penduduk di Kota Balikpapan sebanyak 1.110 jiwa/km², Kota Samarinda 1.011 jiwa/km², Kota Tarakan 293 jiwa/km² dan Kota Bontang 282 jiwa/km². Sedangkan rata-rata kepadatan penduduk Kaltim adalah 16 jiwa/km² pada tahun 2010.
Beberapa hal yang menjadi kelemahan dalam pengembangan infrastruktur di Kaltim khususnya bidang kelistrikan disamping banyaknya wilayah yang terisolir dan tingkat kepadatan penduduk yang jarang dan sangat timpang diantaranya adalah : (1) belum terhubungnya jalan lintas antar kabupaten/kota ; (2) belum layaknya jalan-jalan yang ada di kecamatan, dan desa-desa; (3) Terbatasnya prasarana pelabuhan laut yang layak di kabupaten/kota (pelabuhan dan dermaga penyeberangan); (4) belum tersedianya prasarana darat seperti terminal dan rambu-rambu; (5) Terbatasnya kemampuan dana pemerintah bagi pembangunan jaringan transportasi yang menjangkau seluruh wilayah Kaltim dalam suatu sistem transportasi yang andal, efisien dan terjangkau oleh rakyat banyak; (6) kurangnya dukungan penggunaan teknologi pembangunan infrastruktur.
Luasnya wilayah dan tingkat kepadatan penduduk yang sangat timpang, serta belum tersedianya infrastuktur jalan dan jembatan yang memadai sangat sulit bagi Kaltim untuk memenuhi kebutuhan dasar masyarakat dalam bidang kelistrikan, karena satuan biaya yang dikeluarkan akan menjadi sangat besar, sedangkan disisi lain listrik sudah menjadi kebutuhan pokok hidup, hal ini pula yang tidak menarik bagi investor menanamkan modalnya, karena tingkat pengembalian modal akan menjadi lama, atau pemerintah harus melakukan kebijakan subsidi untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat.
Teknologi kelistrikan saat ini yang terdapat di Kaltim masih didominasi Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) yaitu sebanyak 301 unit sedang Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTGU) hanya 3 pembangkit dan PLTA 1 Pembangkit, dan terakhir akhir Kota Tarakan melakukan konversi dari PLTD menjadi Pembangkit Listrik Tenaga Gas. Kapasitas terpasang dari keseluruhan pembangkit adalah sebesar 288,79 MW dengan daya mampu 201,79 MW pada tahun 2006.
Dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional yaitu pada tahun 2007 sebesar 10,32 % tentu kebutuhan akan energi listrik juga meningkat seiring dengan pertumbuhan investasi dan pembangunan. Juga terjadi pertumbuhan penduduk sebesar 10,59 % pada tahun 2007 dan sebesar 2,27% pada tahun yang mana penduduk Kaltim saat ini sebanyak 3.550.586 jiwa. (Sensus Penduduk 2010). Dengan tingkat pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk yang tinggi tentu memerlukan penyediaan listrik yang cukup untuk kebutuhan pembangunan, industri dan kebutuhan rumah tangga, serta kebutuhannya lainnya yang mendukung keberadaan suatu daerah dan kota-kota di Kaltim, juga sebagai syarat untuk mengundang investor.
Jika dilihat dari kapasitas terpasang saat ini tentu jumlah pasokan listrik tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang hanya mampu menyuplai sebesar 88,90 Kwh perkapita pertahun dibawah rata-rata nasional yaitu 504,43 Kwh perkapita pertahun disamping itu jenis pembangkit yang lebih di dominasi oleh sistem PLTD, yang sudah dapat dipastikan bahwa mesin pembangkit ini terpasang pada era orde baru, sudah berumur diatas 30 tahun, yang secara tehnis dan ekonomis sudah tidak layak, sehingga pada era otonomi kelistrikan harus dilakukan diversifikasi sumber-sumber energi dengan kata lain menyesuaikan dengan potensi sumberdaya lokal yaitu batu bara dan gas, serta mikrohidro sesuai karakter wilayah Kaltim yang memiliki banyak sungai berarus deras.
Otonomi Kelistrikan
Kebijakan Umum Kebutuhan Listrik Nasional, tentang penyediaan listrik nasional jangka panjang, harus diterjemahkan menjadi suatu kebijakan daerah agar kebijakan yang dilaksanakan Nasional dan Daerah dapat saling bersinergi dan tidak tumpah tindih, apa saja yang menjadi kewajiban PLN dan apa saja yang menjadi bagian kewajiban daerah.
Kebijakan dan rencana umum kebutuhan listrik daerah tentu membutuhkan kerja sama antara pemda dan PLN. Pemda merupakan pihak yang paling memahami kondisi daerahnya, sedangkan PLN mempunyai sumber daya manusia mumpuni di bidang kelistrikan, memiliki kemampuan teknologi sebagai penyedia jasa layanan dan sistem jaringan yang sudah ada selama ini. Sinergi antara pemda dan PLN mendesak dibutuhkan untuk mengelola listrik di daerah. Strateginya adalah dengan membentuk lembaga atau badan usaha yang bergerak di bidang jasa layanan kelistrikan seperti : BUMD, koperasi, atau badan sejenis dengan tetap menempatkan pemda sebagai pilar utama pengelola listrik di daerah.
Desentralisasi ketenagalistrikan dipandang perlu dilakukan untuk mewujudkan kemandirian energi daerah, disamping itu dapat memenuhi rasa keadilan dan pemerataan bagi masyarakat untuk memperoleh akses energi listrik secara murah dan tersedia dalam jumlah yang cukup. Perencanaan penyediaan listrik dengan perioritas sumber energi lokal akan lebih ekonomis karena tidak membutuhkan biaya transportasi/distribusi, serta menjaga ketahanan energi daerah sehingga lebih menjamin keberlanjutan pembangunan ekonomi di daerah tersebut.
Dari segi teknis, desentralisasi ketenagalistrikan meminimalisir rugi-rugi distribusi karena perbedaan jarak yang jauh antara lokasi pembangkit dan pusat beban sesuai dengan data neraca energi Indonesia tahun 2006 bahwa untuk wilayah Kalimantan Timur terjadi susut energi sebesar 149,41 GWh yaitu sebesar 9,92 % dari total produksi dimana sebesar 8,33 % adalah susut distribusi sisanya susut pada sistem transmisi dan gardu masing-masing 1,53 % dan 0,06 %. Besarnya jumlah energi listrik yang susut berpengaruh terhadap biaya rata-rata energi listrik yang siap untuk dijual, dan membuat biaya tetap menjadi lebih besar sehingga akan mengurangi tingkat pengembalian modal atau paling tidak akan membuat biaya tarif menjadi lebih tinggi, kendala ini tidak akan terjadi jika masing-masing daerah memiliki Badan Usaha Kelistrikan, karena akan memperpendek jarak distribusi.
Selain itu, diharapkan akan terjadi peningkatan kemampuan daerah dalam perencanaan ketengalistrikan daerah, termasuk peningkatan terhadap penggunaan sumber-sumber potensi lokal yang dapat dijadikan sumberdaya energi untuk penyediaan listrik.
Dari segi ekonomi, desentralisasi ketegalistrikan akan memudahkan sinergi antara kebutuhan persediaan dan permintaan di daerah tersebut. Desentralisasi ketenagalistrikan juga dapat ditujukan untuk meningkatkan perekonomian daerah serta mendorong timbulnya sentra-sentra perekonomian baru di pedesaan, baik karena tersedianya akses listrik juga pengusahaan ketenagalistrikan yang berbasis masyarakat, sebagai sebuah komunitas dengan basis energi listrik skala kecil dan pedesaan dengan daya dukung sumberdaya lokal.
Menurut H. Syamsir Abduh guru besar Teknik Elektro Universitas Trisakti Jakarta mengatakan Desentralisasi pengelolaan ketegalistrikan sangat diperlukan dalam menunjang kemandirian energi daerah dengan tetap mempertimbangkan aspek pengelolaan energi listrik secara profesional, dalam artian harus memenuhi empat prinsip dasar, yaitu: well defined, well financed, well managed, dan well priced. (Well defined) memastikan bahwa semua kerugian, baik dari sisi teknis maupun non-teknis, bisa diminimalkan. Kerugian teknis, misalnya soal susut tegangan, sedangkan non-teknis seperti pencurian listrik dan sejenisnya. Setelah itu, dilakukan (well financed) dalam arti struktur permodalan harus mengacu pada aset dan pendanaan internal. Tahap berikutnya, dilakukan (well managed) dalam arti pengelola jasa ketagalistrikan daerah harus membuktikan kepada publik bahwa perusahaan dikelola menurut bisnis yang sehat, transparan, dan akuntabel. Setelah itu, barulah (weel priced) dalam arti harga ditetapkan secara wajar. (Kompas.com 2010)
Alternatif Pengelolaan Kelistrikan Di Kalimantan Timur
Pemanfaatan sumberdaya alam sesuai dengan potensi dan karakteristik wilayah dapat dilakukan untuk mengatasi keterbatasan sediaan listrik. Kalimantan Timur memiliki kekayaan alam yang cukup bahkan berlimpah dan tersebar pada semua kabupaten/kota seperti Gas, Batu Bara dan energi alam lainnya yang belum termanfaatkan seperti angin, ombak, matahari dan panas bumi atau bioenergi. Pemanfaatan energi alternatif cukup memungkinkan dilakukan di daerah Kalimantan Timur khususnya daerah yang memiliki aliran sungai yang cukup deras, seperti Kabupaten Paser, atau daerah pedalaman Kabupaten Kutai, Kabupaten Bulungan, dan Kabupaten Nunukan dengan konsep mikro hidro untuk memenuhi kebutuhan desa-desa yang tidak terjangkau oleh layanan PLN.
Menyikapi kondisi demikian, langkah diversifikasi energi melalui pemanfaatan daya dukung wilayah mutlak harus dikerjakan. Hal ini karena pemanfaatan sumber yang tersedia di daerah mempunyai beberapa kelebihan, antara lain relatif mudah didapat, dapat diperoleh secara gratis dari sediaan alam. Alternatif lain adalah dengan melakukan pola kerja sama antar wilayah yang memiliki sumberdaya berlimpah dengan wilayah yang tidak memiliki sumberdaya baik itu sumberdaya alam atau sumberdaya manusianya, dan atau kerja sama antar wilayah yang berdekatan dengan konsep layanan terpadu.
Beberapa konsep alternatif pengelolaan ketenagalistrikan berbasis daya dukung daerah yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah di Kalimantan Timur, seperti :
1. Penggunaan sumber energi batu bara untuk wilayah penghasil batu bara terbesar yaitu Kota Samarinda, Kutai Kartanegara dan Kutai Timur, dan Kabupaten Berau serta Kabupaten Bulungan.
2. Membentuk konsorsium secara bersama membangun sebuah power plant untuk pelayanan kelistrikan pada daerah yang berbatasan dan telah memiliki jaringan listrik serta teknologi yang telah terkoneksi, atau untuk pelayanan wilayah Kalimantan Timur Bagian Selatan yang meliputi Samarinda, Balikpapan, Kutai Kartanegara, dan Kabupaten Paser, dan Kabupaten Penajam Paser Utara.
3. Melakukan diversifikasi dengan cara mengganti teknologi dari bahan bakar diesel menjadi gas dan batu bara, secara bertahap hingga sampai pada akhirnya murni dengan memanfaatkan sumberdaya lokal tersedia, hal ini dapat diterapkan pada wilayah Kutai Timur dan Bontang, dan melakukan interkoneksi dengan wilayah Samarinda.
4. Untuk Wilayah Utara yaitu dengan melakukan interkoneksi antara Kabupaten Bulungan dan Kabupaten Berau serta Kabupaten Malinau dan Kabupaten Nunukan, dengan melakukan diversifikasi PLTD dan PLTGU sebagai sumber alternatif dengan didukung oleh sumber batu bara.
Beberapa alternatif pengelolaan ketenagalistrikan tersebut diatas perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam, namun jika melihat kondisi saat ini dan daya dukung sumberdaya energi lokal, maka alternatif pola pengelolaan ini adalah tepat untuk dikembangkan, hal ini juga mengacu pada pola pengelolaan yang telah di lakukan di Kota Tarakan dan Kabupaten Berau. Adapun gambaran pola pengelolaan ketenagalistrikan di kedua Kabupaten/kota tersebut adalah sebagai berikut :
1. Sedangkan Tarakan yang hanya memiliki potensi gas, dan saat ini telah melakukan terobosan dengan sistem pengelolaan otonomi kelembagaan, telah beralih dari PLTD ke PLTG, dan menggandeng investor swasta sebagai pemasok kekurangan energi listrik yang dihasilkan PLN Kota Tarakan, disisi lain memberikan peluang pada perusahaan industri kayu lapis PT IDEC Wood Industries, memproduksi listrik secara mandiri guna memenuhi kebutuhan perusahaan dengan pemanfaatan limbah kayu sebagai energi panas yang kelebihan produksinya dapat di jual ke PLN Kota Tarakan.
2. Kabupaten Berau yang memiliki potensi batu bara saat ini telah membangun BUMD kelistrikan dengan investor nasional bekerja sama dengan PT Berau Coal sebagai pemasok batu bara. namun sebaiknya hal ini dilakukan kerja sama dengan Kabupaten Bulungan dengan membangun interkoneksi jaringan kedua kabupaten yang berdekatan ini yang hanya memiliki jarak sekitar 60 Km, agar kelebihan produksi BUMD Berau dapat untuk memasok kabutuhan listrik Kabupaten Bulungan, khususnya untuk pasokan Tanjung Selor sebagai ibukota kabupaten dan Tanjung Palas, sehingga PLTD Kabupaten Bulungan hanya dikonsentrasikan memasok kebutuhan listrik untuk wilayah pedesaan di Kabupaten Bulungan, karena hingga saat ini Kabupaten Bulungan masih menggunakan teknologi mesin diesel.
Dari pengalaman yang ada pola yang telah dilakukan oleh Pemerintah Kota Tarakan dengan otonomi kelembagaan dan Kabupaten Berau dengan membangunan BUMD dan menjual kepada PLN hingga saat ini masih belum effisien, dalam artian bahwa masih tingginya biaya produksi tapi dapat disubsidi oleh pemerintah sehingga tidak menjaadi kendala yang berarti, namun harapannya kedepan dapat lebih cerah, seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita penduduk, maka penyesuaian tarif dapat dilakukan secara berkala, atau dengan cara melakukan kerja sama antar wilayah.
Desentralisasi Kelistrikan di Kalimantan Timur
Infrastruktur merupakan aspek penting untuk mendukung pembangunan suatu daerah guna memudahkan penduduknya melakukan aktivitas dan merupakan cara untuk menarik investor untuk menanamkan modalnya. Oleh sebab itu pembangunan infrastuktur dapat digunakan sebagai insentif pertumbuhan kegiatan ekonomi serta alat kontrol untuk kelestarian lingkungan hidup dan effisiensi.
Satu diantara infrastuktur yang sangat penting adalah kelistrikan, guna mendukung aktivitas pemerintahan dan aktivitas penduduknya serta memberikan rasa aman, nyaman dan rasa percaya diri, sebagai daya dukung suatu wilayah dalam menggerakkan pembangunan daerah dan masyarakat.
Kemajuan daerah dan kemakmuran masyarakat dapat dilihat dari tingkat konsumsi energi listrik oleh masyarakat di daerah tersebut, baik konsumsi untuk kebutuhan rumah tangga, sosial, fasilitas publik dan komersial serta industri, yang mana konsumsi energi listrik mampu menciptakan nilai tambah khususnya pada segmen komersial dan industri.
Sesuai dengan amanat Otonomi yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat di daerah serta mengurangi tingkat kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, disamping itu bagaimana kemampuan daerah mengalokasikan dana yang tersedia secara proporsional dan dalam waktu yang bersamaan mampu menggali potensi daerah untuk meningkatkan pendapatan sebagai upaya mengoptimalkan kinerja pembangunan daerah. Untuk memenuhi tujuan desentrasilasi tersebut pemerintah daerah dapat membangun infrastuktur dalam usaha peningkatan perekonomian daerah satu diantaranya adalah dengan membangunan infrastruktur kelistrikan sebagai fasilitas layanan publik, hal ini sesuai pula dengan UU Kelistrikan No. 30 tahun 2009. Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur dapat memfasilitasi penyediaan ketenagalistrikan daerah untuk kebutuhan masyarakat dan industri serta pembangunan daerah pada umumnya.
Adalah cukup beralasan pemerintah daerah Kaltim dan DPRD, mengambil alih tanggung jawab penyediaan listrik ini mengingat bahwa: Pertama, ketidakmampuan PLN untuk menambahkan kapasitas listrik yang dicanangkan sebesar 10.000 Megawatt pada tahun 2010. Di Kaltim hal ini terlihat dari semakin menurunnya pertumbuhan PDRB sektor Listrik dan Air bersih yang mana pada tahun 2000 sebesar 11,14 % menjadi sebesar 4,98 % pada tahun 2008 dan menempati urutan ke sembilan dalam konstribusi pada PDRB Kaltim yaitu sebesar 318,53 milyar rupiah. Kedua Industri di daerah tidak dapat bertahan dan berkembang tanpa dukungan listrik yang cukup, hal ini dapat dilihat dari laju pertumbuhan sektor industri pengolah terus mengalami penurunan dari 8,48 % pada tahun 2000 diperkirakan menjadi 2,17 % pada tahun 2008. Ketiga sumbangan sektor pertambangan dan penggalian pada PDRB Kaltim sangat dominan pada tahun 2008 sebesar Rp. 103,17 Triliun atau sekitar 54,3 persen dari nilai total PDRB konstan tahun 2000. yaitu sebesar Rp. 40,51 triliun rupiah. Hal ini menjadikan sektor pertambangan dan penggalian merupakan sektor unggulan, yang implikasinya adalah besarnya dana bagi hasil yang diterima propinsi Kaltim, sebagai sumber APBD.
Dengan demikian sudah saatnya Pemerintah Kaltim dan DPRD berdasarkan beberapa alasan tersebut memutuskan untuk mengelola ketenagalistrikan daerah secara otonom dengan tarif regional. Sehingga dengan demikian pemerintah atas persetujuan DPR dapat mengalokasikan belanja anggaran yang lebih besar pada sektor kelistrikan berdasarkan azas proporsial dan profesional, dengan membangun pembangkit listrik skala besar dan menengah berbasis daya dukung dan potensi sumberdaya daerah yaitu gas dan batu bara dengan membangun PLTU dan PLTG pada beberapa daerah yang saling terkoneksi dan mendistribusikan secara merata pada semua kabupaten/kota sebagai upaya peningkatan pelayanan publik dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan peningkatan pembangunan daerah.
Kesimpulan
1. Kaltim merupakan daerah yang memiliki potensi sumberdaya gas dan batu bara yang cukup banyak sebagai bahan baku energi listrik, perlu melakukan diversifikasi dan peralihan sistem pembangkit tenaga listrik ke PLTG dan PLTU.
2. Desentralisasi kelistrikan di Kalimantan Timur layak dilaksanakan dengan mengalokasikan dana pada sektor listrik sebagai implikasi dari besar sumbangan sektor pertambangan dan penggalian pada pendapatan daerah dari penerimaan bagi hasil sebagai upaya peningkatan pelayanan publik dan peningkatan kinerja pembangunan daerah.
Saran
Kepada Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur segera membuat rencana strategis (Renstra) sebagai tahap awal dalam usaha desentralisasi kelistrikan dan rencana umum ketenagalistrikan daerah yang berbasis daya dukung potensi lokal.
Daftar Pustaka
Abduh Syamsir, Desentralisisi Kelistrikan Pengelolaan Listrik Daerah, Kompas.com
Bappeda Kaltim,2007, Propil Daerah Porpinsi Kalimantan Timur
BPS Kaltim, PDRB Kalimantan Timur Berdasarkan Lapangan Usaha 2005-2008,
Manuwoto, 2009, Bahan Kuliah Perencanan Prasarana dan Sarana Wilayah , IPB Bogor
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah
Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah
Undang-Undang Republik Indonesia No. 30 Tahun 2009 Tentang Kelistrikan